Artikel

Definisi dan Sejarah Ulumul Qur’an

Ust. Fahmi Hadi Shalehuddin

05 April, 2025

Definisi dan Sejarah Ulumul Qur’an

    Kata "ulum" adalah bentuk jamak dari ilmu, dan ilmu itu artinya pamahaman serta pengetahuan. Kemudian ditukil dengan arti masalah-masalah yang disusun dengan susunan ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan Allah swt. sebagai penutup bagi kitab-kitab yang diturunkan-Nya dan diturunkan kepada Nabi terakhir.. Al-Qur’an merupakan pedoman Rasulullah saw. dalam membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya, ia membimbing mereka ke jalan yang mustaqim. Dengan demikian Al-Qur’an merupakan pertolongan Allah terbesar bagi Rasulullah saw, sahabat, dan umat manusia seluruhnya hingga hari kiamat.

    Maka yang dimaksud dengan Ulumul Quran adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan Al- Quran dari segi asbabun nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan urutannya, mengetahui ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh-mansukh, dan lain-lain. Ilmu ini dinamai juga Ushulut Tafsir karena mencakup banyak ilmu dan pembahasan yang mesti dikuasai oleh seorang ahli tafsir sebagai landasan pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Ulumul Quran Di Zaman Nabi saw, Sahabat, dan Tabi'in

    Rasulullah saw. dan para sahabat sangat memahami Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, akan tetapi pada zaman itu pengetahuan mereka tidak dibukukan, karena mereka sama sekali tidak memerlukannya. Rasulullah saw. menerima wahyu dari Allah swt, dan pengumpulan serta pemeliharaan di dalam dada, pemasihan lisan dalam membacanya, dan tersingkapnya tirai dari makna-makna dan rahasia-rahasianya menjadi tanggungan Allah.

Allah swt. berfirman:

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ ١٦ اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ ١٧ فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ ١٨ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ ۗ ١٩

“Janganlah kamu mengerak-gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan-nya (di dalam dadamu) dan (membuatmu mahir) membacanya. Jika Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” Al-Qiyamat: 16-19

    Rasulullah saw. Mengajarkan Al-Quran kepada para sahabat tanpa tergesa-gesa. Hal ini agar mereka dapat memahaminya dengan baik, hafal lafazh-lafazhnya, dan memahami rahasia-rahasianya. Dan beliau menjelaskan Al-Qur’an itu kepada mereka dengan sunnahnya yaitu dengan ucapan, amal, taqrir, akhlak, dan sifat-sifatnya yang membenarkan terhadap firman Allah swt. di bawah ini:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ ٤٤

“Dan Kami turunkan kepadamu peringatan (yaitu: Kami utus rasul-rasul itu dengan membawa keterangan dan kitab-kitab) agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir”. An-Nahl: 44

    Para sahabat adalah orang-orang yang memiliki keistimewaan yang berupa kuat hafalan, kecerdasan, dan kedalaman pemahaman dalam memahami bayan (penjelasan), sehingga mereka mengerti Ulumul Quran dan kemukjizatannya dengan watak dan kebersihan jiwa mereka, yang hal ini tidak bisa kita samai meskipun didukung dengan banyaknya ilmu.

    Jika ada kerancuan bagi mereka mengenai pemahaman salah satu ayat, mereka bertanya kepada Rasulullah saw, kemudian beliau menjelaskannya hingga mereka memahaminya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَمّا نَزَلَتْ هٰذِه الأٓيَةُ ﴿الَّذِينَ آمَنُوا ولَمْ يَلْبِسُوا إيمانَهُمْ بظُلْمٍ﴾ [الأنعام: ٨٢] شَقَّ ذلكَ عَلَى النَّاسِ، فَقالوا: وَأَيُّنا لا يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟ قالَ: إِنَّهُ ليسَ الَّذِي تَعْنُونَ أَلَمْ تَسْمَعُوا ما قالَ الْعَبْدُ الصَالِحُ ﴿إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ﴾ [لقمان: ١٣] إنَّما هو الشِّرْكُ. رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Mas'ud ra. ia berkata, "Ketika turun ayat "Alladzina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulmin" (Orang-orang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman), hal itu terasa berat atas orang-orang, kemudian mereka berkata, 'Wahai Rasulullah! Siapa di antara kami yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya hal itu tidak seperti yang kalian maksudkan, bukankah kalian telah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Luqmanul hakim) "Innasy syirka lazhulmun azhim" (Sesungguh-nya syirik itu kezhaliman yang sangat besar)?" Hanyasanya ia itu adalah syirik. H.R. Al-Bukhari dan Muslim

    Para sahabat sangat antusias menerima Al-Qur’an dari Nabi saw. Guna dihafal dan dipahami. Hal itu menjadi kemuliaan bagi mereka. Demikian pula dalam mengamalkan hukum-hukumnya.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنَا الَّذِيْنَ كَانُوا يَقْرَئُونَنَا الْقُرْأَنَ كَعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا تَعَلَّمُوْا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ أَيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزُوْهَا حَتَّى يَتَعَلَّمُوْا مَا فِيْهَا مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. فَقَالُوْا: فَيُعَلِّمُنَا الْقُرْأَنَ وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيْعًا.

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami ia berkata, "Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti Usman bin Affan, Abdullah bin Mas'ud dan lain-lain, bahwa mereka itu jika mempelajari dari Nabi saw. sepuluh ayat, mereka tidak menambahnya dulu sebelum memperdalam ilmu dan amal yang ada pada ayat tersebut. Mereka berkata, 'kemudian mereka mengajarkan kepada kami Al-Qur’an. ilmu, dan amal sekaligus.""

    Pada awalnya Rasulullah saw. tidak mengizinkan penulisan apapun yang datang dari beliau selain Al-Qur’an, karena dikhawatirkan akan bercampur antara Al-Qur’an dengan yang lainnya. Tetapi kemudian beliau mengizinkan bagi sebagian sahabat untuk menulis hadis, selama hal itu selamat dari percampuran yang di khawatirkan itu.

    Meskipun demikian hanya sedikit saja sahabat yang mempunyai catatan Al-Qur’an, itupun merupakan catatan pribadi saja, sehingga tidak ada tulisan pokok sebagai rujukan. Demikian pula di zaman kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab hal itu masih tetap berlanjut.

    Pada kekhilafahan Usman bin Affan, kekuasaan Islam semakin luas dan bahasa arab telah banyak bercampur dengan bahasa lainya. Kaum muslimin khawatir ke dalam Al-Qur’an pun akan masuk pengaruh-pengaruh bahasa asing, dan akan terjadi fitnah serta kerusakan yang besar terhadap Al-Qur’an.

    Karena kuat dan banyaknya desakan serta permintaan yang datang dari kaum muslimin supaya Al-Qur’an itu dibukukan dan diseragamkan, maka Usman bin Affan memerintahkan supaya Al-Qur’an itu dikumpulkan dalam satu Mushaf Imam.

    Kemudian ia mengumpulkan para pencatat wahyu -orang orang yang di zaman Nabi saw. bertugas mencatat setiap wahyu yang turun dan menyusunnya sesuai dengan perintah Nabi saw.- untuk mengerjakannya.

    Setelah selesai, Mushaf Imam itu diperbanyak dan disebarkan ke seluruh daerah kekuasaan Islam, dan ia memerintahkan supaya Al-Qur’an yang tidak merujuk kepada Mushaf Imam itu dimusnahkan, dengan demikian selamatlah Al-Qur’an itu dari segala pengaruh luar yang bisa merusak keasliannya. Dengan ini Usman bin Affan telah meletakkan dasar-dasar penulisan Al-Quran.

    Di zaman kekhilafahan Ali bin Abu Thalib ra, atas perintah beliau, maka Abul Aswad Ad-Duali meletakkan dasar-dasar kaidah ilmu Nahwu (tata bahasa) yang bertujuan untuk keselamatan dan keseragaman pengucapan, dan hal itu merupakan tonggak munculnya ilmu nahwu yang kemudian diikuti oleh ilmu i'rab Al-Qur’an.

    Para sahabat tak henti-hentinya saling mengajarkan makna-makna Al-Qur’an dan tafsir sebagian ayat dengan tingkatan kemampuan masing-masing karena perbedaan kemampuan mereka dalam memahaminya dan perbedaan lamanya ber-mulazamah (bergaul) dengan Nabi saw. Namun hal ini jelas sekali menunjukkan bagaimana kuatnya keinginan mereka dalam menjaga, memahami, dan mengamalkan Al-Quran.

    Di antara ahli tafsir di kalangan para sahabat yaitu Khalifah yang empat, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al'Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair. Banyak sekali riwayat mengenai tafsir dari mereka, namun tidak merupakan tafsir Al-Qur’an secara keseluruhan, hanya terbatas mengenai makna ayat-ayat tertentu saja.

    Di zaman Tabiin banyak juga yang dikenal sebagai ahli tafsir, mereka mengambil dan mempelajarinya dari para sahabat, dan untuk sebagian ayat mereka ber-ijtihad sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an itu.

    Di antara tabiin murid Ibnu Abas yang dikenal sebagai ahli tafsir yaitu Said bin Zubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus, dan Atha bin Abi Rabbah. Di antara murid Ubay bin Ka'ab yang terkenal sebagai ahli tafsir yaitu Zaid bin Aslam dan Abul Aliyah. Di antara murid Ibnu Mas'ud yang terkenal sebagai ahli tafsir yaitu Alqamah bin Qais, Masruq, Hasan Albishri, dan Qatadah. Riwayat-riwayat yang ditukil dari mereka menjelaskan bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan mereka adalah ilmu tafsir, ilmu gharibul kuran, ilmu asbabun nuzul, dan lain-lain.

Pentadwinan (pengumpulan di dalam kitab)

    Kurun kedua tahun Hijriah adalah waktu dimulainya pentadwinan ilmu-ilmu agama Islam, dimulai dengan pentadwinan hadis-hadis berdasarkan bab, selanjutnya mencakup pentadwinan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an termasuk juga tafsir.

    Sebagian ulama mengumpulkan tafsir Al-Qur’an itu dari Rasulullah saw, sahabat, dan tabiin. Di antaranya yaitu Yazid bin Harun, Syu'bah bin Alhajjaj, dan Sufyan bin Uyainah. Mereka itu semuanya ahli hadis. Mereka mengumpulkan tafsir itu bukan dalam satu kitab khusus akan tetapi disimpan di dalam bab-bab kitab hadis mereka, dan belum ada tafsir-tafsir dari mereka itu yang secara khusus dibukukan.

    Kemudian para ulama secara khusus mulai menulis kitab-kitab tafsir, yaitu mereka menyusun kitab-kitab tafsir sesuai dengan urutan ayat-ayatnya, di antara yang termasyhur yaitu Ibnu Jarir Ath-Thabari meninggal tahun 310 H.

    Pada awalnya penafsiran itu dengan jalan menerima langsung dari para ulama dan berdasarkan riwayat-riwayat. Yang asalnya tersimpan di dalam bab-bab kitab hadis itu kemudian dibukukan secara terpisah. Selanjutnya berturut-turut bermunculan tafsir bil ma'tsur dan tafsir birra'yi.

    Di samping ilmu tafsir, muncul pula tulisan-tulisan (kitab) yang menulis tentang topik-topik tertentu yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Misalnya Ali Almadini menulis kitab tentang asbabun nuzul, Ibnu Qutaibah menulis kitab tenang musykilul Quran, dan lain-lain. Mereka ini adalah para ulama kurun ke tiga tahun Hijriah..

    Pada kurun ke empat tahun Hijriah Muhammad bin Khalaf menulis kitab Ulumul Quran, Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim menulis kitab Ulumul Quran, Abu Bakar As-Sijistani menulis kitab Gharibul Quran, dan lain-lain. Seluruh ilmu dan pembahasan yang ada di dalam kitab-kitab itu kemudian dikenal dengan Ulumul Quran, yang kemudian menjadi satu nama atas satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama tersebut. Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata di dalam kitabnya yang bejudul "Qanunut ta'wil","Sesungghunya Ulumul Quran itu mencakup 77450 bagian pembahasan."